Widget HTML Atas

.

Misteri Supersemar yang Belum Terungkap

Sejarah mencatat peristiwa Surat Perintah 11 Maret 1965 (Supersemar) merupakan salah satu tahapan transisi Indonesia. Mandat itu terkait dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang membuat sejumlah petinggi Angkatan Darat tewas.

Soeharto yang kala itu menjabat Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) berdalih mendapatkan mandat Supersemar untuk memberantas antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituding menculik sejumlah jenderal, termasuk Jenderal TNI (anumerta) Ahmad Yani.

Namun Supersemar dijadikan jalan oleh Soeharto untuk menduduki kursi Presiden RI menggantikan Soekarno. Sebab, selama lebih dari tiga dekade lewat sidang MPRS, mandat itu tak pernah kembali kepada “Sang Putra Fajar” --julukan Presiden pertama RI Soekarno--.
Pasalnya sang Proklamator yang dilengserkan pada 13 Maret 1966, “diasingkan” ke Wisma Yaso (Museum Satria Mandala, Jalan Gatot Subroto, Jakarta), hingga berpulang ke haribaan Yang Maha Esa pada 21 Juni 1970.

Catatan sejarah itu memang sudah berlalu selama 51 tahun. Tapi misterinya masih belum “lurus”. Terlebih, mandat Supersemar yang asli hingga sekarang belum ditemukan.
Bahkan, isi Supersemar antara keluarga Soekarno dan Soeharto jauh berbeda. Mantan Presiden Soeharto menyebut peristiwa 11 Maret 1966 sebagai perintah menegakkan wibawa pemerintahan.

Namun, sejarahwan Asvi Warman Adam menyangsikan klaim tersebut. Terlebih di masa itu, tidak ada mesin fotocopy, dan salinan surat perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) diragukan.
"Ada perdebatan dan dibantah Soeharto, dikatakan Supersemar ini cuma menegakkan wibawa pemerintah. Pada zaman itu belum ada mesin fotocopy," ujar Asvi saat ditemui di Jalan Wijaya III, Jakarta Selatan.

Ketika teks asli Supersemar digandakan, lanjut Asvi, terdapat kemungkinan adanya penyembunyian sejarah. Selanjutnya, dari keterangan istri sang proklamator asal Jepang, Dewi Soekarno yang pernah bermain golf dengan Soeharto.
Mulanya, Dewi sempat menganggap Supersemar sebagai perintah pengamanan. Namun, dari pilihan yang diberikan Soeharto, ia mengetahui bahwa suaminya telah kalah.
"Digandakan saat itu, diketik ulang (stensil), sangat mungkin dua halaman jadi satu halaman, dan tanda tangan Soekarno berubah. Bagi orang di sekeliling Soeharto, Supersemar pelimpahan kekuasaan. Dewi Soekarno aktif mencoba melakukan rekonsiliasi, menghubungi istri Nasution, Yani. Ketika itu ia menganggap Supersemar hanya perintah pengamanan," imbuhnya.

Belakangan, Dewi mendapat tiga pilihan dari Soeharto. Pertama, agar Soekarno menyerahkan pemerintahan kepada Soeharto. Lalu bapak pembangunan itu mempersilakan Soekarno beristirahat ke Tokyo.
"Tapi Dewi sempat main golf pada April 1966, Soeharto menawarkan melalui Dewi supaya menyerahkan saja pemerintahan ke Soeharto. Lalu beristirahat ke Tokyo. Dan ketiga istirahat ke Makkah," tuturnya.

Sumber: okezone.com
Jika berkenan mohon bantu subscribe channel admin, makasiiiihh!!