Widget HTML Atas

.

Siapakah Usman-Harun Sehingga Singapura Protes Penamaan KRI?

Hampir 46 tahun kemudian, setelah eksekusi mati kedua sukarelawan prajurit KKO AL bernama Usman dan Harun, Pemerintah Singapura memprotes rencana Pemerintah Indonesia yang akan memberi nama salah satu kapal perang baru buatan Inggris dengan nama KRI Usman-Harun. Alasan, pemberian nama KRI Usman-Harun akan melukai rakyat Singapura, terutama korban bom Mac Donald House (MDH). Oleh Singapura, dua prajurit KKO itu dianggap sebagai teroris. Adapun Indonesia menempatkan mereka sebagai pahlawan karena gugur saat menjalankan tugas.

Sikap Singapura atas penamaan kapal ini dipandang berlebihan. Karena itu, Panglima TNI Jenderal Moeldoko menolak hadir dalam acara Singapore Airshow yang berlangsung 11 sampai 16 Februari 2014. Ketidakhadiran Moeldoko beralasan Singapura telah membatalkan undangan untuk 100 perwira TNI sebagai bagian protes Negeri Singa itu soal penamaan KRI.

Sementara itu, Moeldoko mengatakan penamaan kapal tersebut merupakan urusan internal Indonesia dan tidak ada maksud membuka luka lama dalam hubungan bilateral kedua negara.
"Ini persoalan internal kita. Nama itu ditentukan, ada tiga kapal, (yakni KRI) Bung Tomo, Usman, Harun, sekarang baru muncul persoalan," kata dia.

Pembatalan undangan 100 anak buahnya dipandang Moeldoko sebagai hal biasa. Ia berharap masalah tersebut tidak berlanjut karena hubungan baik antara Singapura dan Indonesia selama ini sudah terjalin.

Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menganggap masalah ini sebagai sesuatu yang nilainya kecil dan hanya sebagai catatan karena masalah ini merupakan urusan internal.

Siapa sebenarnya Usman-Harun? Mengapa Singapura tiba-tiba begitu alergi dengan kedua sosok prajurit KKO AL yang notabene Singapura pulalah yang menghukum mati mereka.

Usman-Harun dan Gani bersama puluhan sukarelawan adalah bagian terkecil dari ribuan sukarelawan yang siap diterjunkan ke medan konfrontasi ganyang Malaysia yang akan membentuk Negara Federasi Malaysia terdiri dari Malaysia, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei. Bung Karno menilai keberadaan negara federasi yang disponsori dan bentukan neokolonialisme Inggris akan membahayakan Indonesia.

Usman-Harun adalah sukarelawan pertama yang diberangkatkan ke lokasi strategis yang letaknya paling dekat dengan Singapura, yakni Pulau Sambu di wilayah Kepulauan Riau. Mereka diberangkatkan menggunakan sebuah kapal meriam (gunboat). Sementara sukarelawan lainnya diberangkatkan ke Kalimantan Utara yang berbatasan dengan Malaysia.

Meski sama-sama sebagai prajurit KKO, Usman alias Djanatin bin Haji Mochammad dan Harun alias Tohir bin Said tidak saling kenal. Mereka berdua saling kenal saat bertemu di Pulau Sambu.

Selain sukarelawan yang dikirim ke Sambu, KKO AL juga mengirim pasukan yang bergabung dalam Brigade Pendarat. Di pulau kecil ini, Usman dan Harun bertemu dan berkenalan dengan Gani alias Aroeb, seorang Sukwan sipil yang kemudian bergabung menjadi satu tim. Mereka kemudian ditempatkan di Pulau Layang.

Tanggal 9 Maret 1965 mereka mendapat tugas dari Komandan Sukwan Dwikora Kapten KKO Paulus Subekti untuk menyusup ke Singapura. Tengah malam 9 Maret 1965, tim kecil berhasil menjejakkan kakinya di daratan Singapura.

Menyerang Hotel Mac Donald

Tanpa istirahat, Usman, Harun, dan Gani mulai menyusuri Orchard Road untuk mendekati obyek sasaran yang telah ditentukan. Obyek sasaran mereka adalah Hotel Mac Donald (MD). Sebab, di hotel inilah terdapat banyak perwira militer dan orang swasta asal Inggris.

Kala itu, Hotel MD ini memang menjadi tempat menginap paling favorit bagi orang asing yang berkunjung ke negeri Singa ini. Pada pergerakan pertama, mereka belum berhasil meletakkan bom di obyek sasaran karena suasana di sekitar hotel MD masih terlalu ramai. Namun, pada akhirnya mereka berhasil memasang bom di hotel tersebut.

Tanggal 10 Maret 1965, bom seberat 12,5 kg sukses diledakkan dan menghancurkan flat (apartemen) Hotel MD. Dampak ledakan bom tersebut sungguh luar biasa. Enam orang tewas dalam insiden bom tersebut serta puluhan orang luka berat dan ringan.

Sebanyak 20 pertokoan rusak berat, menghancurkan sekitar 24 kendaraaan roda empat. Ledakan ini sudah barang tentu membuat pemerintah dan aparat keamanan Singapura kalang kabut dan melakukan penjagaan tempat-tempat strategis, termasuk pintu keluar Singapura, pelabuhan laut, pelabuhan udara, dan jalur darat.

Untuk menghindarkan kecurigaan aparat keamanan, mereka berpencar dan sepakat bertemu kembali di suatu tempat. Tanggal 11 Maret 1965, mereka sempat berkumpul kembali.
Ketiga sukarelawan itu sebenarnya berencana meledakkan sebuah apartemen yang terletak tidak begitu jauh dari hotel MD. Tetapi, karena suasana tidak memungkinkan dan penjagaan oleh militer dan polisi juga sangat ketat, rencana tersebut dibatalkan.

Mereka kemudian memutuskan untuk kembali ke pos utama di Pulau Sambu. Namun, semua jalan keluar dari daratan Singapura sudah dijaga ketat. Demikian pula jalur laut antara perairan Selat Singapura dan Pulau Sambu sudah diblokade oleh pasukan keamanan.

Dalam situasi genting tersebut, mereka bertiga memutuskan berpencar dan mencari jalan keluar sendiri-sendiri. Siapa yang terlebih dulu sampai di Sambu harus melaporkan peledakan bom terhadap Hotel MD. Gani sepakat memisahkan diri. Akan tetapi, Djanatin selaku komandan regu menolak berpisah dengan Harun. Setelah itu Gani menghilang entah ke mana. Sementara Usman dan Harun mengalami kesulitan menembus penjagaan di daerah pantai yang sangat ketat.

Berkat pelatihan-pelatihan di bidang intelijen, mereka berhasil menyamar sebagai awak kapal dagang yang kebetulan sedang singgah di Pelabuhan Singapura. Mereka berhasil naik ke kapal dagang Begama yang akan berlayar menuju Bangkok, Thailand. Namun, identitas mereka ketahuan dan pemilik kapal Begama mengusirnya. Usman dan Harun kemudian merebut sebuah perahu bermotor. Naas, dalam perjalanan ke Pulau Sambu, perahu bermotor mengalami gangguan mesin.

Sekitar pukul 09.00 tanggal 13 Maret 1965, mereka ditangkap oleh Polisi Peronda Laut Perairan Singapura dan langsung dibawa ke Singapura. Kedua prajurit KKO itu dijebloskan di penjara Changi dan dieksekusi mati di tiang gantungan di penjara yang sama pada 17 Oktober 1968.

Beberapa saat sebelum pelaksanaan eksekusi, kedua anggota KKO AL itu menitipkan pesan ucapan terima kasih kepada utusan Presiden-Panglima Tertinggi ABRI, Brigjen TNI Tjokro Pranolo, dan Atase Pertahanan Letkol Laut (KH) Gani Jemaat SH atas perhatian dan usaha yang telah dilakukan.
Mereka siap mati demi kejayaan bangsa, negara, dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Korps Komando.

kompas.com
Jika berkenan mohon bantu subscribe channel admin, makasiiiihh!!