Perlawanan Rakyat dan Bangsa Indonesia Melawan VOC
Perlawanan Rakyat dan Bangsa Indonesia Melawan VOC
a. Perlawanan Rakyat Maluku Melawan VOC
Pada tahun 1605 Belanda mulai memasuki wilayah Maluku dan berhasil merebut benteng Portugis di Ambon. Praktik monopoli dengan sistem pelayaran hongi menimbulkan kesengsaran rakyat. Pada tahun 1635 muncul perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah pimpinan Kakiali, Kapten Hitu. Perlawanan segera meluas ke berbagai daerah. Oleh karena kedudukan VOC terancam, maka Gubernur Jederal Van Diemen dari Batavia dua kali datang ke Maluku (1637 dan 1638) untuk menegakkan kekuasaan Kompeni. Untuk mematahkan perlawanan rakyat Maluku, Kompeni menjanjikan akan memberikan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat membunuh Kakiali. Akhirnya seorang pengkhianat berhasil membunuh Kakiali.
Dengan gugurnya Kakiali, untuk sementara Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat Maluku, sebab setelah itu muncul lagi perlawanan sengit dari orang-orang Hitu di bawah pimpinan Telukabesi. Perlawanan ini baru dapat dipadamkan pada tahun 1646. Pada tahun 1650 muncul perlawanan di Ambon yang dipimpin oleh Saidi. Perlawanan meluas ke daerah lain, seperti Seram, Maluku, dan Saparua. Pihak Belanda agak terdesak, kemudian minta bantuan ke Batavia. Pada bulan Juli 1655 bala bantuan datang di bawah pimpinan Vlaming van Oasthoom dan terjadilah pertempuran sengit di Howamohel. Pasukan rakyat terdesak, Saidi tertangkap dan dihukum mati, maka patahlah perlawanan rakyat Maluku.
Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan menentang VOC. Pada akhir abad ke-18, muncul lagi perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Jamaluddin, namun segera dapat ditangkap dan diasingkan ke Sailan (Sri Langka). Menjelang akhir abad ke-18 (1797) muncullah perlawanan besar rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Nuku dari Tidore. Sultan Nuku berhasil merebut kembali Tidore dari tangan VOC. Akan tetapi setelah Sultan Nuku meninggal (1805), VOC dapat menguasai kembali wilayah Tidore.
Perlawanan Pattimura (1817). Perlawanan Pattimura terjadi di Saparua, yaitu sebuah kota kecil di dekat pulau Ambon. Sebab-sebab terjadinya perlawanan terhadap Belanda adalah :
Rakyat Maluku menolak kehadiran Belanda karena pengalaman mereka yang menderita dibawah VOC
Pemerintah Belanda menindas rakyat Maluku dengan diberlakukannya kembali penyerahan wajib dan kerja wajib
Dikuasainya benteng Duursteide oleh pasukan Belanda
Akibat penderitaan yang panjang rakyat menetang Belanda dibawah pimpinan Thomas Matulesi atau Pattimura. Tanggal 15 Mei 1817 rakyat Maluku mulai bergerak dengan membakar perahu-perahu milik Belanda di pelabuhan Porto. Selanjutnya rakyat menyerang penjara Duurstede. Residen Van den Berg tewas tertembak dan benteng berhasil dikuasai oleh rakyat Maluku.
Thomas Matulesi atau Pattimura
Thomas Matulesi atau Pattimura
Pada bulan Oktober 1817 pasukan Belanda dikerahkan secara besar-besaran, Belanda berhasil menangkap Pattimura dan kawan-kawan dan pada tanggal 16 Nopember 1817 Pattimura dijatuhi hukuman mati ditiang gantungan, dan berakhir perlawanan rakyat Maluku.
b. Mataram Menghadapi VOC
Sultan Agung (1613-1645) adalah raja terbesar Mataram yang bercita-cita: (1) mempersatukan seluruh Jawa di bawah Mataram, dan (2) mengusir Kompeni (VOC) dari Pulau Jawa. Untuk merealisir cita-citanya, ia bermaksud membendung usaha-usaha Kompeni menjalankan penetrasi politik dan monopoli perdagangan.
Pada tanggal 18 Agustus 1618, kantor dagang VOC di Jepara diserbu oleh Mataram. Serbuan ini merupakan reaksi pertama yang dilakukan oleh Mataram terhadap VOC. Pihak VOC kemudian melakukan balasan dengan menghantam pertahanan Mataram yang ada di Jepara. Sejak itu, sering terjadi perlawanan antara keduanya, bahkan Sultan Agung berketetapan untuk mengusir Kompeni dari Batavia.
Serangan besar-besaran terhadap Batavia, dilancarkan dua kali. Serangan pertama, pada bulan Agustus 1628 dan dilakukan dalam dua gelombang. Gelombang I di bawah pimpinan Baurekso dan Dipati Ukur, sedangkan gelombang II di bawah pimpinan Suro Agul-Agul, Manduroredjo, dan Uposonto. Batavia dikepung dari darat dan laut selama tiga bulan, tetapi tidak menyerah. Bahkan sebaliknya, tentara Mataram akhirnya terpukul mundur.
Serangan kedua dilancarkan pada bulan September 1629 di bawah pimpinan Dipati Purbaya dan Tumenggung Singaranu. Akan tetapi serangan yang kedua ini pun juga mengalami kegagalan. Kegagalan serangan-serangan tersebut disebabkan:
Kalah persenjataan.
Kekurangan persediaan makanan, karena lumbung-lumbung persediaan makanan yang dipersiapkan di Tegal, Cirebon, dan Kerawang telah dimusnahkan oleh Kompeni.
Jarak Mataram – Batavia terlalu jauh.
Datanglah musim penghujan, sehingga taktik Sultan Agung untuk membendung sungai Ciliwung gagal.
Terjangkitnya wabah penyakit yang menyerang prajurit Mataram.
c. Perlawanan Trunojoyo (1674-1680)
Trunojoyo, seorang keturunan bangsawan dari Madura tidak senang terhadap Amangkurat I, karena pemerintahannya yang sewenang-wenang dan menjalin hubungan dengan Kompeni. Perlawanan Trunojoyo di mulai pada tahun 1674, dengan menyerang Gresik. Dengan berpusat di Demung (dekat Panarukan), Trunojoyo melakukan penyerangan dan dalam waktu singkat telah berhasil menguasai beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah bahkan sampai pusat Mataram di Plered (Yogyakarta). Dalam perlawanan ini, Trunojoyo dibantu oleh Raden Kajoran, Macan Wulung, Karaeng Bontomarannu, dan Karaeng Galesung.
Pada tanggal 2 Juli 1677, pasukan Trunojoyo telah berhasil menduduki Plered, ibukota Mataram. Amangkurat I yang sering sakit bersama putra mahkota, Adipati Anom melarikan diri untuk minta bantuan kepada Kompeni di Batavia. Dalam perjalanan, Amangkurat I meninggal di Tegal Arum (selatan Tegal), sehingga dikenal dengan sebutan Sultan Tegal Arum. Adipati Anom kemudian menaiki takhta dengan gelar Amangkurat II. Untuk menghadapi Trunojoyo, Amangkurat II minta bantuan Kompeni, akan tetapi tidak ke Batavia namun ke Jepara. Pimpinan Kompeni (VOC) Speelman menerima dengan baik Amangkurat II dan bersedia membantu dengan suatu perjanjian (1678) yang isinya:
VOC mengakui Amangkurat II sebagai raja Mataram.
VOC mendapatkan monopoli dagang di Mataram.
Seluruh biaya perang harus diganti oleh Amangkurat II
Sebelum hutangnya lunas, pantai utara Jawa digadaikan kepada VOC.
Mataram harus menyerahkan daerah Kerawang, Priangan, Semarang dan sekitarnya kepada VOC.
Setelah perjanjian ini ditandatangani penyerangan di mulai. Pada waktu itu Trunojoyo telah berhasil mendirikan istana di Kediri dengan gelar Prabu Maduretno. Tentara VOC di bawah pimpinan Anthonie Hurdt, yang dibantu oleh tentara Aru Palaka dari Makasar, Kapten Jonker dari Ambon beserta tentara Mataram menyerang Kediri. Dengan mati-matian tentara Trunojoyo menghadapi pasukan gabungan Mataram-VOC, tetapi akhirnya terpukul mundur. Pasukan Trunojoyo terus terdesak, masuk pegunungan dan menjalankan perang gerilya. Demi keselamatan sebagian pengikutnya, pada tanggal 25 Desember 1679 menyerah dan akhirnya gugur ditikam keris oleh Amangkurat II pada tanggal 2 Januari 1680. Dengan gugurnya Trunojoyo, terbukalah jalan bagi VOC untuk meluaskan wilayah dan kekuasaannya di Mataram.
d. Perlawanan Untung Suropati (1868-1706)
Untung, menurut cerita adalah seorang putra bangsawan dari Bali, yang dibawa pegawai VOC ke Batavia. Semula Untung dijadikan tentara VOC di Batavia. Dalam peristiwa Cikalong (1684), merasa harga dirinya direndahkan, maka Untung berbalik melawan VOC.
Dengan peristiwa Cikalong tersebut, Untung tidak kembali ke Batavia, namun melanjutkan perlawanan menuju Cirebon. Di Cirebon terjadi perkelahian dengan Suropati dan Untung menang sehingga namanya digabungkan menjadi Untung Suropati. Dari Cirebon Untung terus melanjutkan perjalanan menuju Kartasura, dan disambut baik oleh Amangkurat II yang telah merasakan beratnya perjanjian yang dibuat dengan VOC. Pada tahun 1686, datanglah utusan VOC di Kartasura di bawah pimpinan Kapten Tack dengan maksud: (1) merundingkan soal hutang Amangkurat II, dan (2) menangkap Untung. Amangkurat II menghindari pertemuan ini dan terjadilah pertempuran.
Kapten Tack bersama anak buahnya berhasil dihancurkan oleh Untung, dan Untung kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur hingga sampai di Pasuruan. Di Pasuruan inilah Untung Suropati berhasil mendirikan istana dan mengangkat dirinya menjadi adipati dengan gelar Adipati Ario Wironegoro, dengan wilayah seluruh Jawa Timur, antara lain Blambangan, Pasuruhan, Probolinggo, Malang, Kediri dan Bangil. Di Bangil, dibangun perbentengan guna menghadapi VOC.
Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat, putra mahkota Sunan Mas naik takhta. Raja baru ini benci terhadap Belanda dan condong terhadap perlawanan Untung. Pangeran Puger (adik Amangkurat II) yang ingin menjadi raja, pergi ke Semarang dan minta bantuan kepada VOC agar diakui sebagai raja Mataram. Pada tahun 1704, Pangeran Puger dinobatkan menjadi raja dengan gelar Paku Buwono I. Pada tahun 1705 Paku Buwono I dan VOC menyerang Mataram. Sunan Mas melarikan diri dan bergabung dengan pasukan Untung di Jawa Timur.
Oleh pihak Kompeni di Batavia, dipersiapkan pasukan secara besar-besaran untuk menyerang Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde, pasukan Kompeni berhasil mendesak perlawanan Untung. Dalam perlawanan di Bangil, Untung Suropati terluka dan akhirnya pada tanggal 2 Oktober 1706 gugur. Jejak perjuangannya diteruskan oleh putra-putra Untung, namun akhirnya berhasil dipatahkan oleh Kompeni. Bahkan Sunan Mas sendiri akhirnya menyerah, kemudian dibawa ke Batavia, dan diasingkan ke Sailan (1708).
e. Makasar Menghadapi VOC
Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan kecil seperti Gowa, Tello, Sopeng, dan Bone. Di antara kerajaan tersebut yang muncul menjadi kerajaan yang paling kuat ialah Gowa, yang lebih dikenal dengan nama Makasar. Adapun faktor-faktor yang mendorong perkembangan Makasar, antara lain :
Letak Makasar yang sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan Malaka-Batavia-Maluku.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511.
Timbulnya Banjarmasin sebagai daerah penghasil lada, yang hasilnya dikirim ke Makasar.
Usaha penetrasi kekuasaan terhadap Makasar oleh VOC dalam rangka melaksanakan monopolinya menyebabkan hubungan Makasar – VOC yang semula baik menjadi retak bahkan akhirnya menjadi perlawanan. Hal ini dikarenakan Makasar selalu menerobos monopoli VOC dan selalu membantu rakyat Maluku melawan Kompeni. Pertempuran besar meletus pada tahun 1666, ketika Makasar di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654-1670). Dalam hal ini VOC berkoalisi dengan Kapten Jonker dari Ambon, Aru Palaka dari Bone, dan di pihak VOC sendiri dipimpin oleh Speelman. Makasar dikepung dari darat dan laut, yang akhirnya pertahanan Makasar berhasil dipatahkan oleh VOC. Para pemimpin yang tidak mau menyerah, seperti Karaeng Galesung dan Karaeng Bontomarannu melarikan diri ke Jawa (membantu perlawanan Trunojoyo). Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang isinya :
Wilayah Makasar terbatas pada Goa, wilayah Bone dikembalikan kepada Aru Palaka.
Kapal Makasar dilarang berlayar tanpa izin VOC.
Makasar tertutup untuk semua bangsa, kecuali VOC dengan hak monopolinya.
Semua benteng harus dihancurkan, kecuali satu benteng Ujung Pandang yang kemudian diganti dengan nama Benteng Roterrdam.
Makasar harus mengganti kerugian perang sebesar 250.000 ringgit.
Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin walaupun telah menandatangani perjanjian tersebut, karena dirasa sangat berat dan sangat menindas; maka perlawanan muncul kembali (1667-1669). Makasar berhasil dihancurkan dan dinyatakan menjadi milik VOC.
f. Perlawanan Banten Melawan VOC
Pada waktu orang-orang Belanda datang pertama kali di Banten (1596), Banten berada di bawah pemerintahan Maulana Muhammad. Pada saat itu Banten telah berkembang menjadi kota bandar yang ramai. Wilayah Banten meliputi seluruh Banten, Priangan, dan Cirebon. Maksud kedatangan Belanda yang semula berdagang, maka disambut dengan baik. Akan tetapi setelah Kompeni malakukan monopoli dan penetrasi politik, hubungan Banten – VOC menjadi buruk, bahkan sering terjadi pertentangan; lebih-lebih setelah VOC berhasil menduduki kota Jayakarta pada tahun 1619.
Pertentangan Banten – VOC menjadi perlawanan besar, setelah Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtoyoso ( 1651 – 1682). Dalam hal ini VOC melakukan politik “devide et impera”. Pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtoyoso mengangkat putra mahkota (dikenal dengan sebutan Sultan Haji karena pernah naik haji) sebagai pembantu yang mengurusi urusan dalam negeri, sedangkan urusan luar negeri dipercayakan kepada Pangeran Purboyo ( adik Sultan Haji). Atas hasutan VOC, Sultan Haji mencurigai ayahnya dan menyatakan bahwa ayahnya ingin mengangkat Pangeran Purboyo sebagai raja Banten. Pada tahun 1680, Sultan Haji berusaha merebut kekuasaan, sehingga terjadilah perang terbuka antara Sultan Haji yang dibantu VOC melawan Sultan Ageng Tirtoyoso (ayahnya) yang dibantu Pangeran Purboyo. Sultan Ageng Tirtoyoso dan Pangeran Purboyo terdesak ke luar kota, dan akhirnya Sultan Ageng Tirtoyoso berhasil di tawan oleh VOC; sedangkan Pangeran Purboyo mengundurkan diri ke daerah Priangan. Pada tahun 1682 Sultan Haji dipaksa oleh VOC untuk menandatangani suatu perjanjian yang isinya :
VOC mendapat hak monopoli dagang di Banten dan daerah pengaruhnya.
Banten dilarang berdagang di Maluku.
Banten melepaskan haknya atas Cirebon.
Sungai Cisadane menjadi batas wilayah Banten dengan VOC.
Sejak adanya perjanjian ini, maka penguasa Banten sebenarnya ialah VOC.
Sumber: plengdut.com
a. Perlawanan Rakyat Maluku Melawan VOC
Pada tahun 1605 Belanda mulai memasuki wilayah Maluku dan berhasil merebut benteng Portugis di Ambon. Praktik monopoli dengan sistem pelayaran hongi menimbulkan kesengsaran rakyat. Pada tahun 1635 muncul perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah pimpinan Kakiali, Kapten Hitu. Perlawanan segera meluas ke berbagai daerah. Oleh karena kedudukan VOC terancam, maka Gubernur Jederal Van Diemen dari Batavia dua kali datang ke Maluku (1637 dan 1638) untuk menegakkan kekuasaan Kompeni. Untuk mematahkan perlawanan rakyat Maluku, Kompeni menjanjikan akan memberikan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat membunuh Kakiali. Akhirnya seorang pengkhianat berhasil membunuh Kakiali.
Dengan gugurnya Kakiali, untuk sementara Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat Maluku, sebab setelah itu muncul lagi perlawanan sengit dari orang-orang Hitu di bawah pimpinan Telukabesi. Perlawanan ini baru dapat dipadamkan pada tahun 1646. Pada tahun 1650 muncul perlawanan di Ambon yang dipimpin oleh Saidi. Perlawanan meluas ke daerah lain, seperti Seram, Maluku, dan Saparua. Pihak Belanda agak terdesak, kemudian minta bantuan ke Batavia. Pada bulan Juli 1655 bala bantuan datang di bawah pimpinan Vlaming van Oasthoom dan terjadilah pertempuran sengit di Howamohel. Pasukan rakyat terdesak, Saidi tertangkap dan dihukum mati, maka patahlah perlawanan rakyat Maluku.
Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan menentang VOC. Pada akhir abad ke-18, muncul lagi perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Jamaluddin, namun segera dapat ditangkap dan diasingkan ke Sailan (Sri Langka). Menjelang akhir abad ke-18 (1797) muncullah perlawanan besar rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Nuku dari Tidore. Sultan Nuku berhasil merebut kembali Tidore dari tangan VOC. Akan tetapi setelah Sultan Nuku meninggal (1805), VOC dapat menguasai kembali wilayah Tidore.
Perlawanan Pattimura (1817). Perlawanan Pattimura terjadi di Saparua, yaitu sebuah kota kecil di dekat pulau Ambon. Sebab-sebab terjadinya perlawanan terhadap Belanda adalah :
Rakyat Maluku menolak kehadiran Belanda karena pengalaman mereka yang menderita dibawah VOC
Pemerintah Belanda menindas rakyat Maluku dengan diberlakukannya kembali penyerahan wajib dan kerja wajib
Dikuasainya benteng Duursteide oleh pasukan Belanda
Akibat penderitaan yang panjang rakyat menetang Belanda dibawah pimpinan Thomas Matulesi atau Pattimura. Tanggal 15 Mei 1817 rakyat Maluku mulai bergerak dengan membakar perahu-perahu milik Belanda di pelabuhan Porto. Selanjutnya rakyat menyerang penjara Duurstede. Residen Van den Berg tewas tertembak dan benteng berhasil dikuasai oleh rakyat Maluku.
Thomas Matulesi atau Pattimura
Thomas Matulesi atau Pattimura
Pada bulan Oktober 1817 pasukan Belanda dikerahkan secara besar-besaran, Belanda berhasil menangkap Pattimura dan kawan-kawan dan pada tanggal 16 Nopember 1817 Pattimura dijatuhi hukuman mati ditiang gantungan, dan berakhir perlawanan rakyat Maluku.
b. Mataram Menghadapi VOC
Sultan Agung (1613-1645) adalah raja terbesar Mataram yang bercita-cita: (1) mempersatukan seluruh Jawa di bawah Mataram, dan (2) mengusir Kompeni (VOC) dari Pulau Jawa. Untuk merealisir cita-citanya, ia bermaksud membendung usaha-usaha Kompeni menjalankan penetrasi politik dan monopoli perdagangan.
Pada tanggal 18 Agustus 1618, kantor dagang VOC di Jepara diserbu oleh Mataram. Serbuan ini merupakan reaksi pertama yang dilakukan oleh Mataram terhadap VOC. Pihak VOC kemudian melakukan balasan dengan menghantam pertahanan Mataram yang ada di Jepara. Sejak itu, sering terjadi perlawanan antara keduanya, bahkan Sultan Agung berketetapan untuk mengusir Kompeni dari Batavia.
Serangan besar-besaran terhadap Batavia, dilancarkan dua kali. Serangan pertama, pada bulan Agustus 1628 dan dilakukan dalam dua gelombang. Gelombang I di bawah pimpinan Baurekso dan Dipati Ukur, sedangkan gelombang II di bawah pimpinan Suro Agul-Agul, Manduroredjo, dan Uposonto. Batavia dikepung dari darat dan laut selama tiga bulan, tetapi tidak menyerah. Bahkan sebaliknya, tentara Mataram akhirnya terpukul mundur.
Serangan kedua dilancarkan pada bulan September 1629 di bawah pimpinan Dipati Purbaya dan Tumenggung Singaranu. Akan tetapi serangan yang kedua ini pun juga mengalami kegagalan. Kegagalan serangan-serangan tersebut disebabkan:
Kalah persenjataan.
Kekurangan persediaan makanan, karena lumbung-lumbung persediaan makanan yang dipersiapkan di Tegal, Cirebon, dan Kerawang telah dimusnahkan oleh Kompeni.
Jarak Mataram – Batavia terlalu jauh.
Datanglah musim penghujan, sehingga taktik Sultan Agung untuk membendung sungai Ciliwung gagal.
Terjangkitnya wabah penyakit yang menyerang prajurit Mataram.
c. Perlawanan Trunojoyo (1674-1680)
Trunojoyo, seorang keturunan bangsawan dari Madura tidak senang terhadap Amangkurat I, karena pemerintahannya yang sewenang-wenang dan menjalin hubungan dengan Kompeni. Perlawanan Trunojoyo di mulai pada tahun 1674, dengan menyerang Gresik. Dengan berpusat di Demung (dekat Panarukan), Trunojoyo melakukan penyerangan dan dalam waktu singkat telah berhasil menguasai beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah bahkan sampai pusat Mataram di Plered (Yogyakarta). Dalam perlawanan ini, Trunojoyo dibantu oleh Raden Kajoran, Macan Wulung, Karaeng Bontomarannu, dan Karaeng Galesung.
Pada tanggal 2 Juli 1677, pasukan Trunojoyo telah berhasil menduduki Plered, ibukota Mataram. Amangkurat I yang sering sakit bersama putra mahkota, Adipati Anom melarikan diri untuk minta bantuan kepada Kompeni di Batavia. Dalam perjalanan, Amangkurat I meninggal di Tegal Arum (selatan Tegal), sehingga dikenal dengan sebutan Sultan Tegal Arum. Adipati Anom kemudian menaiki takhta dengan gelar Amangkurat II. Untuk menghadapi Trunojoyo, Amangkurat II minta bantuan Kompeni, akan tetapi tidak ke Batavia namun ke Jepara. Pimpinan Kompeni (VOC) Speelman menerima dengan baik Amangkurat II dan bersedia membantu dengan suatu perjanjian (1678) yang isinya:
VOC mengakui Amangkurat II sebagai raja Mataram.
VOC mendapatkan monopoli dagang di Mataram.
Seluruh biaya perang harus diganti oleh Amangkurat II
Sebelum hutangnya lunas, pantai utara Jawa digadaikan kepada VOC.
Mataram harus menyerahkan daerah Kerawang, Priangan, Semarang dan sekitarnya kepada VOC.
Setelah perjanjian ini ditandatangani penyerangan di mulai. Pada waktu itu Trunojoyo telah berhasil mendirikan istana di Kediri dengan gelar Prabu Maduretno. Tentara VOC di bawah pimpinan Anthonie Hurdt, yang dibantu oleh tentara Aru Palaka dari Makasar, Kapten Jonker dari Ambon beserta tentara Mataram menyerang Kediri. Dengan mati-matian tentara Trunojoyo menghadapi pasukan gabungan Mataram-VOC, tetapi akhirnya terpukul mundur. Pasukan Trunojoyo terus terdesak, masuk pegunungan dan menjalankan perang gerilya. Demi keselamatan sebagian pengikutnya, pada tanggal 25 Desember 1679 menyerah dan akhirnya gugur ditikam keris oleh Amangkurat II pada tanggal 2 Januari 1680. Dengan gugurnya Trunojoyo, terbukalah jalan bagi VOC untuk meluaskan wilayah dan kekuasaannya di Mataram.
d. Perlawanan Untung Suropati (1868-1706)
Untung, menurut cerita adalah seorang putra bangsawan dari Bali, yang dibawa pegawai VOC ke Batavia. Semula Untung dijadikan tentara VOC di Batavia. Dalam peristiwa Cikalong (1684), merasa harga dirinya direndahkan, maka Untung berbalik melawan VOC.
Dengan peristiwa Cikalong tersebut, Untung tidak kembali ke Batavia, namun melanjutkan perlawanan menuju Cirebon. Di Cirebon terjadi perkelahian dengan Suropati dan Untung menang sehingga namanya digabungkan menjadi Untung Suropati. Dari Cirebon Untung terus melanjutkan perjalanan menuju Kartasura, dan disambut baik oleh Amangkurat II yang telah merasakan beratnya perjanjian yang dibuat dengan VOC. Pada tahun 1686, datanglah utusan VOC di Kartasura di bawah pimpinan Kapten Tack dengan maksud: (1) merundingkan soal hutang Amangkurat II, dan (2) menangkap Untung. Amangkurat II menghindari pertemuan ini dan terjadilah pertempuran.
Kapten Tack bersama anak buahnya berhasil dihancurkan oleh Untung, dan Untung kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur hingga sampai di Pasuruan. Di Pasuruan inilah Untung Suropati berhasil mendirikan istana dan mengangkat dirinya menjadi adipati dengan gelar Adipati Ario Wironegoro, dengan wilayah seluruh Jawa Timur, antara lain Blambangan, Pasuruhan, Probolinggo, Malang, Kediri dan Bangil. Di Bangil, dibangun perbentengan guna menghadapi VOC.
Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat, putra mahkota Sunan Mas naik takhta. Raja baru ini benci terhadap Belanda dan condong terhadap perlawanan Untung. Pangeran Puger (adik Amangkurat II) yang ingin menjadi raja, pergi ke Semarang dan minta bantuan kepada VOC agar diakui sebagai raja Mataram. Pada tahun 1704, Pangeran Puger dinobatkan menjadi raja dengan gelar Paku Buwono I. Pada tahun 1705 Paku Buwono I dan VOC menyerang Mataram. Sunan Mas melarikan diri dan bergabung dengan pasukan Untung di Jawa Timur.
Oleh pihak Kompeni di Batavia, dipersiapkan pasukan secara besar-besaran untuk menyerang Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde, pasukan Kompeni berhasil mendesak perlawanan Untung. Dalam perlawanan di Bangil, Untung Suropati terluka dan akhirnya pada tanggal 2 Oktober 1706 gugur. Jejak perjuangannya diteruskan oleh putra-putra Untung, namun akhirnya berhasil dipatahkan oleh Kompeni. Bahkan Sunan Mas sendiri akhirnya menyerah, kemudian dibawa ke Batavia, dan diasingkan ke Sailan (1708).
e. Makasar Menghadapi VOC
Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan kecil seperti Gowa, Tello, Sopeng, dan Bone. Di antara kerajaan tersebut yang muncul menjadi kerajaan yang paling kuat ialah Gowa, yang lebih dikenal dengan nama Makasar. Adapun faktor-faktor yang mendorong perkembangan Makasar, antara lain :
Letak Makasar yang sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan Malaka-Batavia-Maluku.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511.
Timbulnya Banjarmasin sebagai daerah penghasil lada, yang hasilnya dikirim ke Makasar.
Usaha penetrasi kekuasaan terhadap Makasar oleh VOC dalam rangka melaksanakan monopolinya menyebabkan hubungan Makasar – VOC yang semula baik menjadi retak bahkan akhirnya menjadi perlawanan. Hal ini dikarenakan Makasar selalu menerobos monopoli VOC dan selalu membantu rakyat Maluku melawan Kompeni. Pertempuran besar meletus pada tahun 1666, ketika Makasar di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654-1670). Dalam hal ini VOC berkoalisi dengan Kapten Jonker dari Ambon, Aru Palaka dari Bone, dan di pihak VOC sendiri dipimpin oleh Speelman. Makasar dikepung dari darat dan laut, yang akhirnya pertahanan Makasar berhasil dipatahkan oleh VOC. Para pemimpin yang tidak mau menyerah, seperti Karaeng Galesung dan Karaeng Bontomarannu melarikan diri ke Jawa (membantu perlawanan Trunojoyo). Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang isinya :
Wilayah Makasar terbatas pada Goa, wilayah Bone dikembalikan kepada Aru Palaka.
Kapal Makasar dilarang berlayar tanpa izin VOC.
Makasar tertutup untuk semua bangsa, kecuali VOC dengan hak monopolinya.
Semua benteng harus dihancurkan, kecuali satu benteng Ujung Pandang yang kemudian diganti dengan nama Benteng Roterrdam.
Makasar harus mengganti kerugian perang sebesar 250.000 ringgit.
Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin walaupun telah menandatangani perjanjian tersebut, karena dirasa sangat berat dan sangat menindas; maka perlawanan muncul kembali (1667-1669). Makasar berhasil dihancurkan dan dinyatakan menjadi milik VOC.
f. Perlawanan Banten Melawan VOC
Pada waktu orang-orang Belanda datang pertama kali di Banten (1596), Banten berada di bawah pemerintahan Maulana Muhammad. Pada saat itu Banten telah berkembang menjadi kota bandar yang ramai. Wilayah Banten meliputi seluruh Banten, Priangan, dan Cirebon. Maksud kedatangan Belanda yang semula berdagang, maka disambut dengan baik. Akan tetapi setelah Kompeni malakukan monopoli dan penetrasi politik, hubungan Banten – VOC menjadi buruk, bahkan sering terjadi pertentangan; lebih-lebih setelah VOC berhasil menduduki kota Jayakarta pada tahun 1619.
Pertentangan Banten – VOC menjadi perlawanan besar, setelah Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtoyoso ( 1651 – 1682). Dalam hal ini VOC melakukan politik “devide et impera”. Pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtoyoso mengangkat putra mahkota (dikenal dengan sebutan Sultan Haji karena pernah naik haji) sebagai pembantu yang mengurusi urusan dalam negeri, sedangkan urusan luar negeri dipercayakan kepada Pangeran Purboyo ( adik Sultan Haji). Atas hasutan VOC, Sultan Haji mencurigai ayahnya dan menyatakan bahwa ayahnya ingin mengangkat Pangeran Purboyo sebagai raja Banten. Pada tahun 1680, Sultan Haji berusaha merebut kekuasaan, sehingga terjadilah perang terbuka antara Sultan Haji yang dibantu VOC melawan Sultan Ageng Tirtoyoso (ayahnya) yang dibantu Pangeran Purboyo. Sultan Ageng Tirtoyoso dan Pangeran Purboyo terdesak ke luar kota, dan akhirnya Sultan Ageng Tirtoyoso berhasil di tawan oleh VOC; sedangkan Pangeran Purboyo mengundurkan diri ke daerah Priangan. Pada tahun 1682 Sultan Haji dipaksa oleh VOC untuk menandatangani suatu perjanjian yang isinya :
VOC mendapat hak monopoli dagang di Banten dan daerah pengaruhnya.
Banten dilarang berdagang di Maluku.
Banten melepaskan haknya atas Cirebon.
Sungai Cisadane menjadi batas wilayah Banten dengan VOC.
Sejak adanya perjanjian ini, maka penguasa Banten sebenarnya ialah VOC.
Sumber: plengdut.com