Apakah Soekarno dan Soeharto Terlibat G30S/PKI?
Cerita-cerita seputar pahlawan revolusi dan kasus pemberontakan G30S/PKI 1965 masih menyisakan banyak pertanyaan.
Salah satu yang pertanyaan yang muncul adalah mengapa pasukan Cakrabirawa tidak menjadikan Pangkostrad waktu itu, Soeharto sebagai target.
Soeharto kemudian muncul sebagai pahklawan dengan menumpas gerakan itu.
Ngomong-ngomong muncul cerita tentang hubungan Soeharto dengan para jenderal yang menjadi incaran penculikan waktu itu.
Adalah mantan Wakil Perdana Menteri Indonesia di era tahun 1960-an, Soebandrio, menerbitkan memoar berjudul Kesaksianku Tentang G30S pada tahun 2000 lalu.
Dalam buku tersebut, Subandrio melancarkan serangan balik ke Soeharto.
Ia menuding Soeharto justru telah melakukan kudeta merangkak terhadap kekuasaan Soekarno.
Menurut Soebandrio, Soeharto punya rekam jejak yang buruk jauh sebelum peristiwa G30S.
Yang pertama, semasa di divisi Diponegoro, Soeharto menjalin relasi dengan pengusaha tionghoa, Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Soebandrio menyebut orang-orang ini menjalankan bisnis penyelundupan berbagai barang.
Kabar itu berhembus kemana-mana hingga ke telinga, Jenderal Ahmad Yani.
Kabarnya Ahmad Yani sangat marah.
Sampai-sampai, dalam suatu kejadian, Yani menempeleng Soeharto. Soeharto dianggap mempermalukan korps Angkatan Darat (AD).
Tak hanya itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal AH Nasution juga dikabarkan pernah memecat Soeharto sebagai Pangdam Diponegoro secara tidak hormat.
Suharto dianggap telah menggunakan institusi militernya untuk mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah.
Namun Soeharto diselamatkan Mayjend Gatot Subroto.
Menurut Gatot, Soeharto masih bisa dibina.
Akhirnya, Soeharto pun disekolah di Seskoad di Bandung.
Ada sebuah pertanyaan dari publik bangsa ini di seputar tragedi berdarah G30S/PKI adalah apa yang dilakukan Bung Karno ketika terjadi Gerakan 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 dini hari.
Pertanyaan tersebut, belum terjawab hingga wafatnya Soekarno, kemudian Soeharto dan semua saksi sejarah yang amat penting itu. Pertanyaan yang tidak pernah terjawab itulah yang kemudian menelorkan banyak sekali tafsir, baik itu tafsir menyimpang maupun tafsir benar dan obyektit dalam kaitan dengan aksi G30S/PKI itu sendiri.
Itu pula yang kemudian muncul tafsir tentang Bung Karno merupakan dalang G30S/PKI yang jahanam itu. Bahkan, seorang profesor sejarah dari Belanda, Antonie CA Dake, dalam bukunya, Sukarno File: Berkas-Berkas Soekarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan (2005), menafsir bahwa Soekarno-lah yang menjadi dalang gerakan politik yang memakan korban luar biasa itu.
Menurut Dake, ia telah mewawancarai banyak orang dan dari hasil wawancara itu dapat terlihat bahwa Presiden Soekarno bukan hanya mengetahui akan terjadinya aksi pembersihan terhadap sejumlah jenderal Angkatan Darat, tapi juga pernah mengeluh dan meminta tolong Letnan Kolonel Untung untuk menertibkan para jenderal yang ia nilai tidak loyal dan antikomunis.
Lalu dijelaskan Dake dalam bukunya, pada 4 Agustus 1965 Soekarno pernah memanggil beberapa orang ke Istana, salah satunya Untung. Untung cs itu diminta untuk menindak para jenderal yang dianggap tidak loyal karena menolak pembentukan angkatan kelima. Untung, yang merupakan salah satu perwira pengawal Presiden Soekarno, menjawab, "Jika bapak membiarkan kita menindak para jenderal, saya akan melaksanakan perintah apa pun dari pemimpin besar”.
Keluhan Bung Karno kepada Untung ini pula yang menyulut tafsir yang lebih telanjang kalau Untunglah yang meneruskan keluhan Bung Karno itu dengan aksi langsung dan mendalangi aksi jahanam G30S/PKI. Dan oleh sebagian pengamat, latar belakang ini lebih masuk akal ketimbang “menuduh” Bung Karno sebagai dalang G30S/PKI.
Artinya, Bung Karno bisa saja mengeluh, tetapi bukan berarti bahwa Bung Karnolah dalang aksi G30S/PKI itu. Untunglah yang dengan ambisi pribadi menjadi penguasa lalu menerjemahkan keluhan Bung Karno dengan menggalang aksi keji G30S/PKI itu.
Kembali ke kisah Dake, sang penulis buku itu, dimana isi buku itu membuat berang keluarga Soekarno dan juga para pengagumnya (soekarnois). Bagi mereka, sungguh tidak logis bila Bung Karno mengudeta kekuasaannya sendiri. “Orang yang berkuasa mempertahankan kekuasaannya merupakan hal biasa, bukan melakukan kudeta yang membuatnya kehilangan kekuasaan,” ujar salah seorang putri Bung Karno, Sukmawati, dalam sebuah acara beberapa tahun lampau.
Yang pasti, dalam buku Pengabdian kepada Bangsa: Memoar Letkol (Tituler) Soeparto ini sedikit terungkap di mana Bung Karno ketika tragedi itu terjadi. Karena, Soeparto adalah orang yang sangat sering berada di samping Presiden Soekarno.
Bahwasannya, dari buku ini, terbersit dugaan bahwa kalaupun tragedy berdarah itu tidak didalangi Soerkarno, minimal Soekarno mengetahui adanya aksi Gerakan 30 September itu. Sehingga, sebenarnya jika beliau mau, aksi itu bisa dicegahnya.
Namun, kita kembali soal Soeparto. Memang, ketika itu, Soeparto tak ada dalam struktur kekuasaan. Soeparto bukan ajudan yang ditunjuk negara guna mendampingi Presiden Soekarno. Soeparto adalah asisten pribadi alias orang kepercayaan Soekarno yang dipilih langsung oleh Putra sang Fajar itu. Namun, justru karena itulah Soeparto mendapat kepercayaan penuh dari Bung Karno.
Di luar keluarga, mungkin dialah satu-satunya orang yang dapat masuk ke kamar pribadi Bung Karno untuk membangunkan sang presiden agar melakukan salat subuh. Dia juga orang yang mencicipi makanan Bung Karno terlebih dulu untuk memastikan bahwa makanan itu tak akan membahayakan nyawa tokoh yang ia sangat kagumi itu. Soeparto pula yang kerap mendampingi Soekarno ketika melakukan perjalanan di luar dinas resmi kenegaraan.
Wajar saja jika banyak tokoh yang ingin bertemu Soekarno kadang menghubungi Soeparto dulu, termasuk Soeharto semasa menjadi Panglima Kostrad dan Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara Laksamana Omar Dani.
Begini ceritanya, seperti dalam wawancara sebuah majalah beberapa tahun lalu mengatakan, Letkol Soeparto pada 1 Oktober 1965 pagi menelepon dirinya. Letkol Soeparto memberi tahu Omar Dani bahwa ia akan membawa Soekarno ke Halim Perdanakusuma.
Soeparto mengetahui adanya gerakan politik yang membuahkan situasi darurat lewat telepon di waktu subuh, yang berasal dari anggota pasukan Detasemen Kawal Pribadi (DKP): telah terjadi penembakan di sejumlah rumah jenderal TNI Angkatan Darat. Karena itu, Soeparto diminta segera kembali ke posnya, yaitu mendampingi Presiden Soekarno.
Soeparto pun segera bergegas ke Wisma Yaso (sekarang menjadi Museum Satria Mandala, di Jalan Gatot Subroto). Karena, di sanalah Bung Karno berada, di kediaman Dewi Soekarno, setelah malamnya menghadiri acara “Muswarah Tehnisi” di Istora, Senayan.
Pada acara itu, yang bertugas mengawal Bung Karno adalah Maulwi Saelan, karena komandannya, Brigadir Jenderal M Sabur, sedang ada tugas di luar kota, sedangkan Letkol Untung bertugas menjaga keamanan di sekitar Istora Senayan. Akan halnya yang menjadi sopir mobil Bung Karno adalah Soeparto. Ia pula yang mengantar Bung Karno menjemput Dewi Soekarno di Hotel Indonesia dan membawa mereka ke Wisma Yaso.
Semacam ada catatan bahwa dengan keberadaan Letkol Untung malam itu yang bertugas menjaga keamanan di sekitar Istora Senayan itulah, ada muncul tafsir juga bahwa mana mungkin Letkol Untung sebagai dalang G30S/PKI malam itu, sedangkan ia sedang bertugas di sekitar Istora Senayan.
Maka, teka teki tentang siapa yang mendalangi aksi G30S/PKI pun sulit dijawag, ditebak saja sulit. Maka, di situ pula orang lalu menduga jangan-jangan Soehartolah yang mendalangi aksi G30S/PKI yang kejam itu. Lalu siapa?
Kembali ke kisah Soekarno malam itu dengan Soeparto. Bahwa, sesampai di Wisma Yaso pada 1 Oktober 1965 pagi itu, Soeparto langsung menemui Komandan DKP Komisaris Besar Mangil H Martowidjojo. Begitu mendengar adanya penculikan dan penembakan atas beberapa pejabat tinggi pemerintahan, para pengawal Presiden Soekarno itu segera berunding untuk mencari cara terbaik dalam upaya menyelamatkan Bung Karno.
Namun, belum lagi mereka menemukan solusinya, Bung Karno sudah keluar dari Wisma Yaso menuju mobil Chrysler Imperial berpelat nomor B 4747, untuk menunaikan tugasnya sebagai kepala negara. Menurut jadwal, hari itu Presiden Soekarno akan bertemu dengan Men/Pangad Letnan Jenderal A Yani dan Ketua Umum Nadhlatul Ulama Idham Chalid pada pukul 07.00 di Istana Merdeka.
Soeparto buru-buru mendampingi Bung Karno dan menyetir mobilnya. Ketika itulah Soeparto melaporkan apa yang baru terjadi tadi malam (atau dini hari). Mendengar laporan itu, Bung Karno serta-merta meminta Soeparto menghentikan mobil, yang baru berjalan beberapa meter.
Setelah itu, Soekarno memanggil Mangil, untuk mencari informasi tambahan tentang peristiwa berdarah yang dilaporkan Soeparto. Jadi, Bung Karno mendapat informasi tentang adanya Gerakan 30 September 1965 pertama kali dari asisten pribadinya, Soeparto.
Berhenti pada kisah ini pula, tuduhan terhadap Bung Karno sebagai dalang G30S/PKi pun gugur. Siapa persis dalang di balik peristiwa jahanam itu pun semakin menjadi teka-teki yang menarik untuk ditelusuri.
Setelah itu, Bung Karno meminta Soeparto melanjutkan perjalanan ke Istana Merdeka, tapi kemudian dibelokkan ke arah Grogol, ke rumah kediaman Haryatie Soekarno, karena ada info bahwa Istana Merdeka dijaga oleh pasukan TNI Angkatan Darat.
Di tempat inilah terbersit ide Soeparto untuk ”menyelamatkan” Bung Karno ke Halim Perdanakusuma, setelah sebelumnya Mangil menawarkan gagasan untuk ”menyembunyikan” Bung Karno ke rumah salah seorang kerabatnya di Jalan Wijaya, Kebayoran.
Maka, teka-teki tentang siapa dalang aksi G30S/PKI pun tetap sulit terjawab hingga hari ini.
Sumber: makassar.tribunnews.com/amp/2017/10/03/cerita-soeharto-dipecat-jenderal-ah-nasution-dan-ditampar-jenderal-ahmad-yani
www.netralnews.com/news/singkapsejarah/read/105172/apa.yang.dilakukan.soekarno.pada.malam.t
Salah satu yang pertanyaan yang muncul adalah mengapa pasukan Cakrabirawa tidak menjadikan Pangkostrad waktu itu, Soeharto sebagai target.
Soeharto kemudian muncul sebagai pahklawan dengan menumpas gerakan itu.
Ngomong-ngomong muncul cerita tentang hubungan Soeharto dengan para jenderal yang menjadi incaran penculikan waktu itu.
Adalah mantan Wakil Perdana Menteri Indonesia di era tahun 1960-an, Soebandrio, menerbitkan memoar berjudul Kesaksianku Tentang G30S pada tahun 2000 lalu.
Dalam buku tersebut, Subandrio melancarkan serangan balik ke Soeharto.
Ia menuding Soeharto justru telah melakukan kudeta merangkak terhadap kekuasaan Soekarno.
Menurut Soebandrio, Soeharto punya rekam jejak yang buruk jauh sebelum peristiwa G30S.
Yang pertama, semasa di divisi Diponegoro, Soeharto menjalin relasi dengan pengusaha tionghoa, Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Soebandrio menyebut orang-orang ini menjalankan bisnis penyelundupan berbagai barang.
Kabar itu berhembus kemana-mana hingga ke telinga, Jenderal Ahmad Yani.
Kabarnya Ahmad Yani sangat marah.
Sampai-sampai, dalam suatu kejadian, Yani menempeleng Soeharto. Soeharto dianggap mempermalukan korps Angkatan Darat (AD).
Tak hanya itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal AH Nasution juga dikabarkan pernah memecat Soeharto sebagai Pangdam Diponegoro secara tidak hormat.
Suharto dianggap telah menggunakan institusi militernya untuk mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah.
Namun Soeharto diselamatkan Mayjend Gatot Subroto.
Menurut Gatot, Soeharto masih bisa dibina.
Akhirnya, Soeharto pun disekolah di Seskoad di Bandung.
Ada sebuah pertanyaan dari publik bangsa ini di seputar tragedi berdarah G30S/PKI adalah apa yang dilakukan Bung Karno ketika terjadi Gerakan 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 dini hari.
Pertanyaan tersebut, belum terjawab hingga wafatnya Soekarno, kemudian Soeharto dan semua saksi sejarah yang amat penting itu. Pertanyaan yang tidak pernah terjawab itulah yang kemudian menelorkan banyak sekali tafsir, baik itu tafsir menyimpang maupun tafsir benar dan obyektit dalam kaitan dengan aksi G30S/PKI itu sendiri.
Itu pula yang kemudian muncul tafsir tentang Bung Karno merupakan dalang G30S/PKI yang jahanam itu. Bahkan, seorang profesor sejarah dari Belanda, Antonie CA Dake, dalam bukunya, Sukarno File: Berkas-Berkas Soekarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan (2005), menafsir bahwa Soekarno-lah yang menjadi dalang gerakan politik yang memakan korban luar biasa itu.
Menurut Dake, ia telah mewawancarai banyak orang dan dari hasil wawancara itu dapat terlihat bahwa Presiden Soekarno bukan hanya mengetahui akan terjadinya aksi pembersihan terhadap sejumlah jenderal Angkatan Darat, tapi juga pernah mengeluh dan meminta tolong Letnan Kolonel Untung untuk menertibkan para jenderal yang ia nilai tidak loyal dan antikomunis.
Lalu dijelaskan Dake dalam bukunya, pada 4 Agustus 1965 Soekarno pernah memanggil beberapa orang ke Istana, salah satunya Untung. Untung cs itu diminta untuk menindak para jenderal yang dianggap tidak loyal karena menolak pembentukan angkatan kelima. Untung, yang merupakan salah satu perwira pengawal Presiden Soekarno, menjawab, "Jika bapak membiarkan kita menindak para jenderal, saya akan melaksanakan perintah apa pun dari pemimpin besar”.
Keluhan Bung Karno kepada Untung ini pula yang menyulut tafsir yang lebih telanjang kalau Untunglah yang meneruskan keluhan Bung Karno itu dengan aksi langsung dan mendalangi aksi jahanam G30S/PKI. Dan oleh sebagian pengamat, latar belakang ini lebih masuk akal ketimbang “menuduh” Bung Karno sebagai dalang G30S/PKI.
Artinya, Bung Karno bisa saja mengeluh, tetapi bukan berarti bahwa Bung Karnolah dalang aksi G30S/PKI itu. Untunglah yang dengan ambisi pribadi menjadi penguasa lalu menerjemahkan keluhan Bung Karno dengan menggalang aksi keji G30S/PKI itu.
Kembali ke kisah Dake, sang penulis buku itu, dimana isi buku itu membuat berang keluarga Soekarno dan juga para pengagumnya (soekarnois). Bagi mereka, sungguh tidak logis bila Bung Karno mengudeta kekuasaannya sendiri. “Orang yang berkuasa mempertahankan kekuasaannya merupakan hal biasa, bukan melakukan kudeta yang membuatnya kehilangan kekuasaan,” ujar salah seorang putri Bung Karno, Sukmawati, dalam sebuah acara beberapa tahun lampau.
Yang pasti, dalam buku Pengabdian kepada Bangsa: Memoar Letkol (Tituler) Soeparto ini sedikit terungkap di mana Bung Karno ketika tragedi itu terjadi. Karena, Soeparto adalah orang yang sangat sering berada di samping Presiden Soekarno.
Bahwasannya, dari buku ini, terbersit dugaan bahwa kalaupun tragedy berdarah itu tidak didalangi Soerkarno, minimal Soekarno mengetahui adanya aksi Gerakan 30 September itu. Sehingga, sebenarnya jika beliau mau, aksi itu bisa dicegahnya.
Namun, kita kembali soal Soeparto. Memang, ketika itu, Soeparto tak ada dalam struktur kekuasaan. Soeparto bukan ajudan yang ditunjuk negara guna mendampingi Presiden Soekarno. Soeparto adalah asisten pribadi alias orang kepercayaan Soekarno yang dipilih langsung oleh Putra sang Fajar itu. Namun, justru karena itulah Soeparto mendapat kepercayaan penuh dari Bung Karno.
Di luar keluarga, mungkin dialah satu-satunya orang yang dapat masuk ke kamar pribadi Bung Karno untuk membangunkan sang presiden agar melakukan salat subuh. Dia juga orang yang mencicipi makanan Bung Karno terlebih dulu untuk memastikan bahwa makanan itu tak akan membahayakan nyawa tokoh yang ia sangat kagumi itu. Soeparto pula yang kerap mendampingi Soekarno ketika melakukan perjalanan di luar dinas resmi kenegaraan.
Wajar saja jika banyak tokoh yang ingin bertemu Soekarno kadang menghubungi Soeparto dulu, termasuk Soeharto semasa menjadi Panglima Kostrad dan Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara Laksamana Omar Dani.
Begini ceritanya, seperti dalam wawancara sebuah majalah beberapa tahun lalu mengatakan, Letkol Soeparto pada 1 Oktober 1965 pagi menelepon dirinya. Letkol Soeparto memberi tahu Omar Dani bahwa ia akan membawa Soekarno ke Halim Perdanakusuma.
Soeparto mengetahui adanya gerakan politik yang membuahkan situasi darurat lewat telepon di waktu subuh, yang berasal dari anggota pasukan Detasemen Kawal Pribadi (DKP): telah terjadi penembakan di sejumlah rumah jenderal TNI Angkatan Darat. Karena itu, Soeparto diminta segera kembali ke posnya, yaitu mendampingi Presiden Soekarno.
Soeparto pun segera bergegas ke Wisma Yaso (sekarang menjadi Museum Satria Mandala, di Jalan Gatot Subroto). Karena, di sanalah Bung Karno berada, di kediaman Dewi Soekarno, setelah malamnya menghadiri acara “Muswarah Tehnisi” di Istora, Senayan.
Pada acara itu, yang bertugas mengawal Bung Karno adalah Maulwi Saelan, karena komandannya, Brigadir Jenderal M Sabur, sedang ada tugas di luar kota, sedangkan Letkol Untung bertugas menjaga keamanan di sekitar Istora Senayan. Akan halnya yang menjadi sopir mobil Bung Karno adalah Soeparto. Ia pula yang mengantar Bung Karno menjemput Dewi Soekarno di Hotel Indonesia dan membawa mereka ke Wisma Yaso.
Semacam ada catatan bahwa dengan keberadaan Letkol Untung malam itu yang bertugas menjaga keamanan di sekitar Istora Senayan itulah, ada muncul tafsir juga bahwa mana mungkin Letkol Untung sebagai dalang G30S/PKI malam itu, sedangkan ia sedang bertugas di sekitar Istora Senayan.
Maka, teka teki tentang siapa yang mendalangi aksi G30S/PKI pun sulit dijawag, ditebak saja sulit. Maka, di situ pula orang lalu menduga jangan-jangan Soehartolah yang mendalangi aksi G30S/PKI yang kejam itu. Lalu siapa?
Kembali ke kisah Soekarno malam itu dengan Soeparto. Bahwa, sesampai di Wisma Yaso pada 1 Oktober 1965 pagi itu, Soeparto langsung menemui Komandan DKP Komisaris Besar Mangil H Martowidjojo. Begitu mendengar adanya penculikan dan penembakan atas beberapa pejabat tinggi pemerintahan, para pengawal Presiden Soekarno itu segera berunding untuk mencari cara terbaik dalam upaya menyelamatkan Bung Karno.
Namun, belum lagi mereka menemukan solusinya, Bung Karno sudah keluar dari Wisma Yaso menuju mobil Chrysler Imperial berpelat nomor B 4747, untuk menunaikan tugasnya sebagai kepala negara. Menurut jadwal, hari itu Presiden Soekarno akan bertemu dengan Men/Pangad Letnan Jenderal A Yani dan Ketua Umum Nadhlatul Ulama Idham Chalid pada pukul 07.00 di Istana Merdeka.
Soeparto buru-buru mendampingi Bung Karno dan menyetir mobilnya. Ketika itulah Soeparto melaporkan apa yang baru terjadi tadi malam (atau dini hari). Mendengar laporan itu, Bung Karno serta-merta meminta Soeparto menghentikan mobil, yang baru berjalan beberapa meter.
Setelah itu, Soekarno memanggil Mangil, untuk mencari informasi tambahan tentang peristiwa berdarah yang dilaporkan Soeparto. Jadi, Bung Karno mendapat informasi tentang adanya Gerakan 30 September 1965 pertama kali dari asisten pribadinya, Soeparto.
Berhenti pada kisah ini pula, tuduhan terhadap Bung Karno sebagai dalang G30S/PKi pun gugur. Siapa persis dalang di balik peristiwa jahanam itu pun semakin menjadi teka-teki yang menarik untuk ditelusuri.
Setelah itu, Bung Karno meminta Soeparto melanjutkan perjalanan ke Istana Merdeka, tapi kemudian dibelokkan ke arah Grogol, ke rumah kediaman Haryatie Soekarno, karena ada info bahwa Istana Merdeka dijaga oleh pasukan TNI Angkatan Darat.
Di tempat inilah terbersit ide Soeparto untuk ”menyelamatkan” Bung Karno ke Halim Perdanakusuma, setelah sebelumnya Mangil menawarkan gagasan untuk ”menyembunyikan” Bung Karno ke rumah salah seorang kerabatnya di Jalan Wijaya, Kebayoran.
Maka, teka-teki tentang siapa dalang aksi G30S/PKI pun tetap sulit terjawab hingga hari ini.
Sumber: makassar.tribunnews.com/amp/2017/10/03/cerita-soeharto-dipecat-jenderal-ah-nasution-dan-ditampar-jenderal-ahmad-yani
www.netralnews.com/news/singkapsejarah/read/105172/apa.yang.dilakukan.soekarno.pada.malam.t