Widget HTML Atas

.

Mbak Mega Soekarnoputri Versus Mbak Tutut Soeharto

Mbak Mega Soekarnoputri Versus Mbak Tutut Soeharto-- Ketika Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) dicalonkan sebagai kandidat Presiden periode 2004-2009, bukan saja menjadi pemberitaan di dalam negeri, tapi juga mendapat perhatian pers mancanegara. Di tengah banyaknya masyarakat yang tidak puas terhadap reformasi yang telah berlangsung enam tahun, munculnya putri sulung Pak Harto ini akan membangkitkan harapan orang yang merasa lebih nyaman saat masa orde baru dulu.

Mbak Tutut menjadi kandidat dari Partai Karya Peduli Bangsa yang dipimpin mantan KASAD Jenderal Purn Hartono. Hartono sendiri mengakui pencalonan Mbak Tutut didasari kuatnya keinginan orang untuk kembali ke zaman Soeharto.

Namun, sejauh ini, munculnya Mbak Tutut yang murah senyum, tenang, dan tampil berkerudung setelah naik haji, seperti diungkapan almarhum Taufik Kiemas tidak mengkhawatirkan kubu PDIP. Bahkan menantu Bung Karno ini waktu itu yakin, istrinya akan terpilih kembali sebagai presiden dalam pemilu 2004.

Mbak Mega saat itu bukan saja harus bersaing dengan beberapa kandidat presiden lainnya, seperti Amien Rais dan Susilo Bambang Yudhono (SBY) yang juga merupakan calon kuat, tapi juga dengan dua saudara kandungnya. Yakni, kedua adiknya, Rachmawati dan Sukmawati. Masing-masing calon presiden dari Partai Pelopor dan PNI Marhaenis. Namun akhirnya, Mbak Mega harus mengakui kemenangan SBY yang menjadi presiden bahkan hingga dua periode.

Rupanya, karena berseberangan dalam bidang politik antara Mega dan kedua adiknya, berpengaruh pada hubungan mereka. Terlihat pada saat acara pengundian peserta nomor urut Pilpres 2004 di Komisi Pemilihan Umum (KPU) mereka tidak saling bertegur sapa. Bahkan menolak untuk foto bersama.

Ketika diminta komentar majunya Mbak Tutut sebagai kandidat orang nomor satu di Indonesia, Rachmawati mengatakan, Tutut dan Mega sama-sama orde baru. "Kalau Tutut orba jilid satu, Mega orba jilid dua. Kedua-duanya tak layak jadi pemimpin," tegas Rachmawati. Menariknya, Mbak Mega dan Mba Tutut lahir di tanggal yang sama, 23 Januari. Megawati lebih tua dua tahun dari Tutut yang lahir pada 1949.

KPU sendiri telah menetapkan sebanyak 24 parpol peserta Pemilu 2004. "Keputusan ini sudah final dan mereka yang tidak puas boleh mengajukan keberatannya melalui jalur hukum," tantang Ketua KPU saat itu, Nazaruddin Syamsudin.

Tapi, jauh sebelum ada pengumuman tentang peserta, nomor urut, dan gambar parpol peserta pemilu, banyak artis beken sudah dilirik sejumlah parpol. Keberadaan mereka bukan hanya saja dijadikan sebagai pengumpul suara, tapi banyak yang direkrut menjadi calon legislatif.

Seperti, Sophia Latjuba, Desy Ratnasari, Franky Sahilatua dan Marissa Haque yang dicalonkan PDIP. Dewi Yull, Rieke Diah Pitaloka, dan Ahmad Yani (pentolan grup Dewa) masuk barisan PKB. Mieke Wijaya dan Emilia Contessa (PPP).

Nurul Arifin dan Renny Djayusman (Golkar). Sedangkan, penyanyi keroncong Mus Mulyadi dan penyanyi pop 1980-an Deddy Dhukun (PKPB). Tentunya masih banyak artis lainnya yang bakal muncul karena pendekatan kepada mereka terus dilakukan parpol.

Pada masa orba, para artis diwajibkan menjadi juru kampanye Golkar. Berani menjadi jurkam partai lain akan diboikot di televisi dan arena pertunjukan. Seperti yang dialami Rhoma Irama dan Mad Solar yang berkampanye untuk PPP.

Nasib yang sama juga dialami Harry de Fretes (Lenong Rumpi) yang berkampanye untuk PDI. Di masa orba, pemilu tidak diliburkan dan harus mencoblos di kantor. Hingga tokoh NU, HM Subcha ZE, pada pemilu 1972 pernah menyindir Presiden Soeharto.

"Ketika terjadi pertandingan antara Mohamad Ali dan Joe Frazier sidang kabinet sampai ditunda guna menyaksikan pertarungan tersebut. Kenapa rakyat tidak diberikan kesempatan untuk memilih di tempatnya masing-masing saat pemilu," kata Subchan. Ketika pertarungan tinju kejuaraan dunia itu, sidang kabinet memang diundur karena Pak Harto dan para menteri lebih dulu nonton tinju di Bina Graha.

Kampanye Pemilu memang tidak harus selalu menegangkan seperti yang dikhawatirkan akan terjadi nanti. Seperti kampanye Pemilu 1977 di Lapangan Banteng, Jakarta.

Di hadapan puluhan ribu massa PPP, Hasyim Adnan yang kini sudah almarhum kira-kira melontarkan kalimat, "Kalau saja hasil korupsi di Pertamina dibeliin cendol, semua orang bisa menikmatinya." Kala itu memang sedang hangat diungkap korupsi besar-besaran di Pertamina, termasuk juga yang disuarakan oleh wartawan kawakan Mochtar Lubis.

Pemilu pertama 1955, yang diikuti 29 parpol, meskipun tidak sampai terjadi kerusuhan seperti pemilu-pemilu sesudahnya, bukan berarti tidak ada persaingan. Seperti dituturkan KH Firdanus AN (80), yang ketika itu jadi caleg dan jurkam Masyumi.

"Ketika saya dan tokoh Masyumi KH Isa Anshari kampanye di Priok tiba-tiba pengeras suara mati disabotase para buruh pelabuhan yang sebagian besar anggota PKI."

Dia sendiri menyatakan tidak habis pikir begitu hebatnya persaingan tidak ada satu orangpun tewas akibat persaingan politik. Begitu hebatnya pertarungan antara Masyumi dan PKI, sehingga hangatnya suhu politik terbawa-bawa ke dalam rumah. Apalagi kalau sang suami PKI, istrinya Masyumi, bisa-bisa akan menimbulkan /konslet/ antara pasangan ini.

"Banyak pasangan yang terpaksa pisah ranjang. Penyebabnya si istri tidak mau menerima kalau suaminya anggota partai yang anti-Tuhan," tutur H Irwan Sjafi'ie, yang dalam pemilu di masa demokrasi liberal (1950-1959) jadi anggota tempat pemungutan suara (TPS). Tidak hanya antar suami istri, konslet semacam ini juga terjadi antarkeluarga yang punya paham berbeda. Tentu saja antara partai-partai Islam dan kiri.

Sumber: republika.co.id
Jika berkenan mohon bantu subscribe channel admin, makasiiiihh!!